Siapa menyangka bahwa seorang ilmuwan dari Indonesia
ternyata berperan penting dalam perkembangan bioteknologi khususnya genetika. Bersama
koleganya dia menemukan dan memastikan bahwa kromosom manusia berjumlah
23 pasang, padahal sebelumnya para ilmuwan lain sangat meyakini bahwa
jumlah kromosom manusia adalah 24 pasang.
Kisahnya bermula tahun 1921. Ada 3 orang
yang datang kepada Theophilus Painter meminta untuk ‘dikebiri’. Dua pria kulit
hitam dan seorang pria kulit putih itu merelakan ’senjata’ mereka dicopot
berdasarkan kepercayaan yang mereka anut. Painter yang orang Texas ini lantas
mengamati isi testis ketiga orang tadi, dia sayat tipis-tipis, lalu diproses
dengan larutan kimia, dan dia amati di bawah mikroskop. Ternyata ia melihat ada
serabut-serabut kusut yang merupakan kromosom tak berpasangan pada sel testis. Menurut hitungannya saat itu
ada 24 kromosom. Dia sangat yakin, ada 24 kromosom.
Keyakinan ini diperkuat oleh ilmuwan lain
yang mengamati dengan cara berbeda, mereka pun mendapat hasil yang sama, 24
kromosom. Bahkan hingga 30 tahun ‘keyakinan’ ini bertahan. Begitu yakinnya para
ilmuwan akan hitungan ini sampai-sampai ada sekelompok ilmuwan meninggalkan
penelitian mereka tentang sel hati manusia karena mereka tidak menemukan
kromosom ke-24 dalam sel tersebut, mereka hanya menemukan 23 saja. Ilmuwan lain
berhasil memisah-misahkan kromosom manusia dan menghitungnya, jumlahnya? Tetap
24 pasang.
Barulah 34 tahun setelah ‘tragedi’ pengebirian oleh Painter, ilmuwan
menemukan cara untuk memastikan bahwa jumlah kromosom manusia hanya ada 23
pasang, bukan 24 pasang. Adalah Joe-Hin Tjioyang bermitra dengan
Albert Levan di Spanyol menemukan teknik yang lebih baik untuk mendapatkan
jumlah 23 pasang kromosom manusia. Bahkan ketika mereka menghitung ulang gambar
eksperimen terdahulu yang menyebutkan bahwa jumlahnya ada 24, mereka mendapati
hanya ada 23. Benar-benar aneh, mata siapa yang bisa error begini?
Memang kenyataan bahwa manusia hanya
memiliki 23 pasang kromosom dianggap aneh dan mengejutkan. Pasalnya, simpanse,
orang utan, dan gorila, yang kandungan genetiknya mirip dengan manusia ternyata
memiliki 24 pasang kromosom. Jadi kromosom manusia ini lain daripada bangsa
kera yang lain. Usut punya usut, ternyata ada dua kromosom pada gorila yang
jika digabungkan ukurannya akan mirip dengan kromosom ke-2 pada manusia.
Sungguh ajaib memang, perbedaan yang ‘kecil’ ini ditambah sedikit keragaman
antara gen-gen manusia dan gorila, membuat penampakan keduanya jauh berbeda.
Seperti ditulis dalam Encyclopedia Britannica, Tjio lahir di Jawa, 2
November 1919. Tjio kecil bersekolah di sekolah penjajah Belanda, kemudian dia
sempat mendalami fotografi mengikuti jejak ayahnya yang juga seorang fotografer
profesional. Namun selanjutnya Tjio memutar stir ke bidang pertanian dengan
kuliah di Sekolah Ilmu Pertanian di Bogor, waktu itu Tjio berusaha
mengembangkan tanaman hibrida yang tahan terhadap penyakit. Dari sinilah pondasi
ilmu genetika membawanya menjadi seorang ahli genetik terkemuka kelak.
Sempat dipenjara selama tiga tahun saat
masa pendudukan Jepang, Tjio melanjutkan pendidikannya ke Belanda melalui
program beasiswa. Ia melanjutkan kembali studinya mengenai cytogenetik tanaman
dan serangga hingga menjadi ahli dalam bidang tersebut. Kemudian Tjio
menghabiskan waktu 11 tahun di Zaragoza setelah pemerintah Spanyol
mengundangnya untuk melakukan studi dalam program peningkatan mutu tanaman.
Di sela-sela liburannya, Tjio pun nyambi
riset di Institute of Genetics di Lund Swedia dan tertarik untuk meneliti
jaringan sel mamalia. Di sinilah penemuannya yang menghebohkan itu ia lakukan.
Pada tahun 1955, Tjio menggunakan suatu
teknik yang baru ditemukan untuk memisahkan kromosom dari inti (nukleus) sel.
Ia merupakan salah satu peletak pondasi cytogenetik modern, yaitu ilmu yang
mempelajari hubungan antara struktur dan aktifitas kromosom serta mekanisme
hereditas, sebagai sebuah cabang utama ilmu genetika. Penelitiannya yang lain
pada tahun 1959 membawa pada penemuan bahwa orang-orang yang terkena Down
Syndrome memiliki tambahan kromosom dalam sel-sel mereka.
Ada cerita menarik di balik penemuan
jumlah 23 pasang kromosom ini, selain memang hasil penelitiannya yang
menghebohkan, Tjio pun melakukan tindakan yang cukup menggemparkan dunia riset
Eropa karena ia menolak untuk mencantumkan Albert Levan (kepala Institute of
Genetics tempat risetnya dilakukan) sebagai Author utama dalam jurnal yang
diterbitkan dalam Scandinavian Journal Hereditas tahun 1956
itu, padahal itu sesuatu yang ‘wajib’ sesuai konvensi Eropa yang telah
berlangsung lama. Tjio bahkan mengancam akan membuang pekerjaannya itu jika
Tjio tidak dicantumkan sebagai Author utama. Akhirnya, mengingat ini adalah
penemuan besar, Levan mengalah dan dia dicantumkan hanya sebagai co-author.
Karir terakhir Tjio bekerja di NIH
(National Institute of Health) Washington. Di sana ia mengkompilasi koleksi
foto-foto ilmiah yang mendokumentasikan penelitian-penelitiannya yang luar
biasa. Ternyata bakat fotografi terpendamnya tersalurkan juga di NIH. Prestasi
Tjio pun tak bisa dipandang remeh, terbukti dengan anugerahOutstanding
Achievement Award dari Presiden Kennedy tahun 1962.
Tjio meninggal pada tanggal 27 November
2001, 25 hari setelah ultahnya yang ke-82 di Gaithersburg, Maryland, Amerika.
Kita boleh berbangga sekaligus prihatin, bangga karena ilmuwan kelahiran
Indonesia mampu memberi sumbangsih besar untuk ilmu pengetahuan, tapi juga
prihatin karena di negeri kita belum menjadi tempat bagi ilmuwan luar biasa.
Banyak potensi besar orang-orang cerdas
yang kurang diperhatikan, sehingga mereka dibajak oleh negara-negara lain yang
sudah maju dan mau menghargai prestasi mereka, bahkan sejak masih muda.
Sebenarnya sangat disayangkan jika orang sehebat Joe-Hin Tjio yang asli Jawa
pada akhirnya dikenal sebagai ahli genetik Amerika.